Langsung ke konten utama

Aroma Lain di Balik Secangkir Kopi


Entah sejak kapan aroma itu muncul, rasanya sudah terlalu lama hingga hidung ini teramat mengenalinya. Berawal dari sosok keluarga yang memberiku ruang dan menganggapnya sebagai bagian keluarga mereka sendiri. Sosok ayah dari seorang gadis cantik yang kukenal kala itu.

Kopi ternikmat pertama kali yang baru ku sesap saat pertama kali bertandang di rumahnya, sebagai sambutan hangat rasa kekeluargaan. Yah, kopi Nescafe dengan dengan deretan kemasan kaca berbagai pilihan jenis, bertandang di rak kusus yang hingga kini ku masih ingat betul.

Kala pagi, ku temani sosok ayahnya duduk-duduk di teras rumah sembari menyesap kehangatan dari sebatang rokok. Anak gadisnya datang membawakan kopi untuk kami nikmati bersama, menambah suasana keakraban sembari ditemani suara deru kereta api yang melintas di balik batas rumahnya.

Kopi ini adalah kenangan hitam, pekat, pahit dan manisnya sebuah perjalanan. Perjalanan yang pernah mengantarkanku singgah pada satu fase,singgah pada satu kejadian,serta singgah pada hati. Suatu titik dimana aku takkan pernah melupakannya, karena semua adalah bagian dari sebuah perjalanan.

Bukan ku ingin menuliskan tentang keluarga ini, ataupun menuliskan tentang kisah anak gadis cantiknya, melainkan kisah dibalik aroma yang kerap kali hadir dibalik secangkir kopi. Entah apa yang membuat keanehan dibalik secangkir kopi ini kala aku nikmati.

Aroma ini kerap kali mengingatkanku pada waktu itu. Dulu di setiap pagi, sore, malam, aku bisa menikmati kopi ini yang diseduhkan oleh anak gadis itu. Aroma lantai rumahnya yang khas, dan paling kuingat betul adalah aroma melati yang kala itu ia senangi untuk membalur ditubuhnya.

Gadis cenil yang sering mencubit lenganku kala itu hingga merah jika tak mau mengatakan sesuatu yg jujur padanya. Tapi itulah dulu, kala ku masih bertemu dengannya.

Waktu telah berlalu, kehidupan telah berganti. Sesuatu yang pergi takkan pernah kembali. Entah sejak kapan aroma itu kembali muncul disetiap seduhan kopi Nescafe ini.

Kini setiap kuseduh dengan takaran yang sama seperti apa yang dulu tersaji disetiap ku bertandang ke rumahnya, selalu muncul aroma melati yang entah hadir dari mana. Semua mengingatkan ku pada titik itu, fase dimana semua harus berlalu begitu saja tanpa ada yang bisa dirubah.

Penyesalan yang terus terngiang disetiap ku hirup aroma kopi ini. Sebuah penyesalan karena aku tak punya bukti untuk bisa menjelaskan bahwa ku tak bersalah dan ku tak melakukan apapun yang membuat waktu harus terjadi. Kopi terakhir kala itu, mungkin kopi paling dingin yang pernah tersaji ditengah-tengah pembicaraan yang seharusnya hangat.

Hingga kini aroma itu masih kerap muncul dari balik sesap seruput kopi ini, aku hanya bisa berbisik kata maaf dan menyimpan harap akan keluarganya yang semoga bisa memaafkanku yang tak tahu menahu akan hal yang terjadi kala itu. Maaf aku tak pernah menjelaskan apapun,tak berkilah, dan tak pula membela diri. Bukan karena rena sudah jelas salah,melainkan aku sadar kalau aku tak punya bukti siapa yg salah dan aku tak punya bukti kalau aku tak salah. Kalaupun aku bercerita,ku juga tak tahu akan ada yang percaya atau tidaknya. Jadi ku memilih diam meski ku tahu semua itu akan melekat erat di sepanjang perjapanan hidup ini.

Kini hanya lantunan doa kepada Tuhan yang bisa ku panjatkan untuknya, dan untuk keluarganya yang telah membuatku mencintai kopi. Biarlah sejarah yang akan membuktikan siapa yang terlibat kala fase itu. Hatiku tak pernah sepicik itu untuk membuat hati seseorang berdamai dengan hati ini.

Untukmu yang pernah hadir, hanya doa yang ku lantunkan dari balik hirup aroma kopi ini. Semoga kedamaian selalu menyertainya, amiin. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gadis Bercadar

Matanya yang menatap dengan penuh pesona. Jilbabnya yang terjurai lebar hingga lengannya. Halus lembut bisik suaranya. Semua seakan membuat detakan dada yang mendesir. Ingin rasanya berbicara banyak dengannya, tapi malu rasanya diri ini tuk menyapanya. Namun hingga kini ku tak pernah melihat wajah utuhnya. Wajah indah yang mungkin melekat pada dirinya, ku tak pernah sekalipun menatapnya. Hingga kini ku hanya mampu melihatnya sebatas mata indahnya dan pelipisnya yang hitam merona. Semua itu karena ia adalah gadis bercadar. Bukan bercadarkan jilbabnya, namun bercadarkan balutan masker birunya.

Dari Balik Jeruji Besi

Menelusuri lorong-lorong penuh ketegangan yang menyelimuti. Penuh dengan tatapan tajam dan penuh harap. Wajah garang senantiasa mewarnai setiap sudut. Tegap, kekar, dan seolah diri ini mangsa yang siap untuk diterkam. Inilah hidup dari balik jeruji besi. Kehidupan nyata bagi  seorang narapidana. Menurut kita jeruji besi seolah adalah sebuah tempat untuk menebus setiap kesalahan yang telah diperbuatnya. Namun tatkala orang yang mendekam didalamnya adalah orang yang harus menanggung kesalahan yang telah diperbuat orang lain, apakah ini masih dapat dikatakan jeruji besi. Mungkin apa yang kita presepsikan selama ini tentang penjara tidaklah 100% benar. Melainkan sebenarnya ada sisi lain dari apa yang disebut dengan penjara. Beberapa hari saya bertugas di tempat ini, berjalan di lorong ini, sungguh terasa inilah saatnya saya banyak belajar, sekolah, atau merenungi tentang hidup dari balik tempat ini. Ketakutanku saat awal mendengar kata Lapas, seolah begitu menguji adrenal...

Sorry , Today I Win

Tidak selamanya mereka yang mengatakan pandai, mahir, dan mampu itu memang sama dengan apa yang ia katakan. Namun belum tentu yang ia katakan sesuai fakta. Pelajaran bagi semua dan khususnya untuk driku. Tak perlu sombong dan mengatasnamakan orang yang paling pandai. Namun buktikan dulu kemampuannya. Tak perlu banyak cakap yang terpenting adalah actionnya. Hari ini, ma'af, ku ingin katakan untuk yang ada disana, sorry , today I win